Fungsi Apresiasi Sastra
Sebelum
kita membahas tentang fungsi apresiasi sastra, maka perlu kita ketahui terlebih
dahulu tujuan apresiasi sastra. Tujuan apresiasi sastra antara lain
menyelenggarakan perjamuan dan percakapan agar terhidangkan atau tersuguhkan
pengalaman, pengetahuan, kesadaran, dan hiburan. Agar tujuan ini tercapai,
apresiasi sastra mengemban fungsi tertentu. Disini fungsi merupakan jalan atau
wahana tercapainya tujuan-tujuan apresiasi sastra. Diselaraskan dengan tujuan
yang hendak dicapai, fungsi apresiasi sastra dapat digolongkan menjadi empat
macam yaitu :
1. Fungsi
eksperensial.
2. Fungsi
informatif.
3. Fungsi
penyadaran.
4. Fungsi
rekreatif.
Apresiasi
sastra mengemban fungsi eksprensial (experiencial), yaitu fungsi menyediakan,
menawarkan, menyuguhkan, dan meghidangkan pengalaman-pengalaman manusia kepada
pengapresiasi sastra agar ia dapat menjiwai, menghayati, dan menikmati
pengalaman-pengalaman manusia itu. Disini ditekankan makna pengalaman, bukan
faktanya yang real life karena sastra memang tidak merawat dan memperjuangkan
fakta, melainkan makna pengalaman manusia. Dengan demikian, yang disediakan,
ditawarkan, disuguhkan, dan dihidangkan apresiasi sastra bukanlah pemberitaan
pengalaman manusia, melainkan permenungan pengalaman manusia. Konsekuesinya
yang dijiwai, dihayati, dan dinikmati pengapresiasi sastra ialah makna
pengalaman manusia yang dapat dijadikan permenungan. Sejalan dengan itu
apresiasi sastra harus mampu menjadi penyelenggara permenungan tentang makna
pengalaman manusia dan pembimbing pengpresiasi sastra untuk melakukan
permenungan tentang makna pengalaman manusia. Sementara itu karya sastra harus
bisa menjadi tambang permenungan dan layar proyeksi berbagai makna pengalaman
manusia. Dengan demikian pengapresiasi sastra mampu menjiwai, menghayati, dan
menikmati makna pengalaman manusia yang didulangnya sendiri dan diproyeksikan
oleh sastra. Selanjutnya ia mempermenungkan agar ikatan batinnya dengan
hidupnya sendiri kembali kukuh.
Pengalaman manusia yang bisa ditambang
oleh pengapresasi dari karya sastra dan diproyeksikan oleh karya sastra kepada
pengapresiasi sangat beranekaragam. Keanekaragaman ini disebabkan oleh
subjektivitas apresiasi sastra itu sendiri. Itu sebabnya mustahil kita bisa
mengidentifikasi pengalaman manusia secara lengkap. Yang bisa diidentifikasi
terbatas pada pengalaman-pengalaman yang lumrah diperoleh oleh manusia, yaitu
pengalaman literer-estetis, etis dan moral, psikologi, humanistis, filosofis,
relegius-sufistis-profetis, magis-mitis, sosial budaya, dan sosial politis.
Pengalaman literer-estetis adalah Pengalaman keindahan, keelokan, kebagusan, kenikmatan,
kememikatan. Pengalaman tersebut nampak pada kutipan berikut “Antara gelap dan
lembayung sinar sekarat di barat yang merah, sepedaku meluncuri jalan kecil
depan istana. Istana itu mandi dalam cahaya lampu listrik. Entah beberapa puluh
ratus watt.Aku tak tahu. Hanya perhitungan dalam persangkaanku mengatakan:
listrik di istana itupaling sedikit lima kilowatt. Dan sekiranya ada dirasa
kekurangan listrik, orang tinggal mengangkat tilpun dan istana mendapat
tambahan”. (Toer, 2007:9-10)./BPM. Pengalaman Humanistis adalah pengalaman yang
berisi dan bermuatan nilai-nilai kemanusiaan, menjungjung harkat danmartabat manusia,
menggambarkan situasi dan kondisi kemanusiaan (kondisitragi, dramatis, sinis,
ironis, humoristis, riang, murung, dan penasaran). Pengalaman tersebut tampak
pada kutipan berikut “Sering ketika aku mengepel lantai, ia datang diam-diam
dari belakang, mendekapku mencumbuiku dan memaksaku untuk bermain cinta di
lantai itu juga tanpa memberi kesempatan kepadaku, bahkan sekedar untuk
bernafas dari jepitan mulutnya yang dipenuhi oleh bau asap rokok. Begitulah
yang kuingat. Lalu ia mendesak terus mendesak. Sampai fajriku terasa sakit hingga
nyeri dan perihnya menjalar ke seluruh tubuh. Dalam keadaan seperti itu,
kelelakian Samsudin semakin menjadi, lalu menggigit bahu dan leherku seperti
drakula. Bahkan ia juga memilih sesukanya bagian-bagian mana dari tubuhku untuk
dicengkeram. Dicakar-cakar semaunya, seakan aku ini kambing kurban yang sedang
berada di tangan seorang penjagal. Bukan saja tubuhku yang terluka tetapi hati
dan jiwakupun benar-benar terluka”. (El.Khaliegy,2009:102)/PBS. Pengalaman etis
dan moral adalah Pengalaman yang berisi dan bermuatan bagaimana seharusnya
sikap dan tindakan manusia sebagai manusia.Pengalaman yang menyajikan bagaimana
seharusnya kewajiban dan tanggung jawab manusia sebagai manusia.
Tentu saja harus diberi catatan bahwa disini makna pengalaman -pengalaman yang
penting, bukan fakta empirik dalam suatu real life meskipun bisa saja demikian.
Pada
waktu apresiasi sastra berlangsung, makna pengalaman apa yang dijiwai,
dihayati, dan dinikmati untuk selanjutnya dipermenungkan pengapresasi? Hal ini
sepenuhnya bergantung pada kepekaan dan ketajaman nurani, rasa, dan budi
pengapresiasi sastra, juga bergantung pada kadar penjiwaan, penghayatan, dan
penikmatan pengapresiasi sastra. Apresiasi sastra hanya berfungsi menyediakan,
menawarkan, menyuguhkan, dan menghidangkan pengalaman manusia dengan cara
menyelenggarakan permenungan tentang
makna pengalaman manusia.
2.
Fungsi
Informatif
Apresiasi
sastra juga mengemban fungsi informatif, yaitu fungsi menyediakan, menawarkan,
menyuguhkan, dan menghidangkan pengetahuan-pengetahuan kepada pengapre-siasi
sastra agar dia dapat menjiwai, menghayati, dan menikmati pengetahuan itu.
sudah tentu pengetahuan di sini juga ditekankan pada maknanya, bukan pada fakta
yang empirisnya meskipun hal itu dimungkinkan juga. Hal ini berarti bahwa
pengetahuan yang masih terbuka untuk dimaknai, bukan pengetahuan diskursif
(tertutup) yang harus dipahami. Konsekuensinya, pengapresiasi sastra harus
memaknai pengetahuan itu, bukan memahaminya. Sebab itu, yang ditawarkan,
disediakan, disuguhkan, dan dihidangkan oleh apresiasi sastra berupa
pengetahuan yang masih dilukiskan, bukan pengetahuan yang diformulasikan.
Artinya, pengetahuan yang belum disimpulkan dan dirumuskan, tetapi masih
terceritakan dan terjabarkan dalam struktur atau tekstur novel. Ini berarti
menyimpulkan dan merumuskan berbagai pengetahuan eksistensialisme itu. itulah
sebabnya, dalam apreisasi sastra, pengapresiasi harus memaknai lukisan
pengetahuan yang terkandung dalam sastra melalui radar-radar nurani, rasa, dan
bidu agar ia memperoleh makna pengetahuan itu. Sejalan dengan itu, apresiasi
sastra menjadi penyelenggara pemaknaan lukisan pengetahuan dan pengapresiasi
menjadi pelaku pemaknaan lukisan pengetahuan. Dalam pada itu, karya sastra
diperlakukan sebagai mengandung lukisan pengetahuan. Sebagai contoh novel Para
Priyayi (Umar Kayam) sebagai dunia-kewacanaan perlu diperlakukan sebagai
mengandung lukisan pengetahuan. Pengapresiasi Para Priyayi menjadi pelaku
pemaknaan lukisan pengetahuan dalam Para Priyayi. Keberlangsungan apresiasi
novel Para Priyayi sendiri merupakan penyelenggaraan pemaknaan lukisan
pengetahuan dalam novel Para Priyayi. Lukisan pengetahuan apa saja yang
terkandung dalam sastra dan disediakan, ditawarkan, disuguhkan, dan dihidangkan
oleh apresiasi sastra? Kita tidak bisa menjawab hal ini secara lengkap dan
pasti. Hal ini sepenuhnya bergantung pada kepekaan dan ketajaman nurani, rasa,
dan budi pengapresiasi; juga bergantung pada kadar penjiwaan, penghayatan, dan
penikmatan pengapresiasi atas lukisan pengetahuan dalam (duna-kewacanaan)
sastra. Yang dapat diidentifikasi oleh orang hanyalah pengetahuan-pengetahuan
lumrah pengapresiasi sastra, misalnya pengetahuan literer-estetis, etis dan
moral, filosofis, psikologis, humanits, religius-sufistis-profetis, sosial
budaya, dan sosial politis.
3. Fungsi Penyadaran
Disamping fungsi eksperensial dan
informatif, apresiasi sastra juga mengemban fungsi penyadaran, yaitu fungsi
menyediakan, menawarkan, menyuguhkan, dan menghidangkan sinyal-sinyal kesadaran
pada penegpresiasi sastra. Setelah itu, Si pengapresiasi diharapkan menyadari
sesuatu, misalnya hakikat hidup, hakikat manusia, kewajiban hidup, tanggung
jawab manusia, dan kebebasan hidup serta makna menjadi manusia. Seuatu
sebagaimana tersebut belumlah tersimpulkan dan terformulasikan, melainkan
terlukiskan dalam (dunia kewacanaan) sastra. Dengan demikian, yang disediakan,
ditawarkan, disuguhkan, dan dihidangkan oleh apresiasi sastra kepada
pengapresiasi sastra adalah lukisan sesuatu (dalam dunia-kewacanaan sastra)
yang memberikan sinyal-sinyal kesadaran yang perlu ditangkap, disimpulkan, dan
diformulasi, rasa dan budi pengapresiasi.
Sejalan dengan itu, apresiasi sastra
dapat diperlakukan sebagai penyelenggara penyadaran bagi pengapresiasi dan
pengapresiasi sebagai sosok yang sudi menerima penyadaran. Dalam hal ini karya
sastra dapat diperlakukan sebagai pengumpan dan pemberi sinyal-sinyal kesadaran.
Sebagai contoh, cerpen Robohnya Surau Kami (A. A. Navis) dapat
diperlakukan sebagai pengumpan dan pemberi sinyal-sinyal kesadran bahwa
beribadah bukan hanya sholat dan mengaji di surai, melainkan juga bekerja tekun
di kantor, beramal nyata, berbuat baik kepada orang lain, dan kasih kepada
sesama. Pengapresiasi cerpen Robohnya Surau Kami dapat diperlakukan sebagai sosok yang sudi
menerima penyadaran akan makna ibadah sebagaimana dipancarkan oleh cerpen Robonya
Surau Kami. Proses apresiasi cerpen Robohnya Surau Kami dapat diperlakukan sebagai penyelenggara
penyadaran terhadap pengapresiasi sastra, dalam hubungan ini proses
menyediakan, menawarkan, menyuguhkan, dan menghidangkan sinyal-sinyal kesadaran
akan makna ibadah sebagaimana disebut di atas kepada pengapresiasi sastra.
Sinyal-sinyal kesadaran yang diumpankan dan diberikan oleh sastra, dan
selanjutnya disediaka, ditawarkan, disuguhkan, dan dihidangkan oleh apresiasi
sastra kepada pengapresiasi sastra dapat beraneka ragam. Kita tak bisa
mengidentifikasinya secara pasti karena hal ini subjektif sekali. Hal ini
bergantung pada kepekaan dan ketajaman nurani, rasa, dan budi pengapresiasi
juga bergantung pada kadar penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan pengapresiasi
atas fenomena dalam karya sastra. Yang bisa diidentifikasi terbatas pada
hal-hal yang lumrah dapat menyadrakan orang, antara lain hakikat hidup manusia,
hakikat kebebasan, tanggung jawab hidup manusia, hakikat permainan kekuasaan
dan politik, dan hakikat hidup bersama dalam masyarakat.
Ekspresi kesadaran pengapresiasi
sastra setelah mengapresiasi suatu karya sastra juga bermacam-macam. Ini juga
sulit diidentifikasi karena bersifat individual dan idio sinkretis. Misalnya,
Si Laila Kinanti. Setelah mengapresiasi Penembahan Reso kemudian menyadari
hakikat permainan kekuasaan bisa mengekspresikan ketersadarannya dengan
mengucap misalnya “O, jadi politik itu sangat kotor dan sering tak bermoral
karena bisa membuat orang mengorbankan apa saja demi tercapainya tujuan-tujuan
politis”. Jadi ekspresi ketersadaran tidak bisa dipetakan dan diformulasikan
secara baku dan pasti. Walaupun demikian kita bisa mengatakan bahwa kesadaran
umumnya merupakan perwujudan katarsis dan sublimasi pengapresiasi sastra atas
fenomena-fenomena dalam karya sastra yang memberikan sinyal-sinyal kesadaran .
4 .
Fungsi Rekreatif
Fungsi rekreatif adalah
fungsi menyediakan, menawarkan, menyuguhkan, dan menghidangkan hiburan-hiburan
kepada pengapresiasi bilamana ia melakukan apresiasi suatu karya sastra.
Pengertian rekreatif disini tidaklah fisikal dan empiris, tetapi batiniah dan
sukmawi. Tegasnya, rekreatif bagi batin dan sukma pengapresiasi. Dengan
demikian yang disediakan, disuguhkan, dan dihidangkan oleh apresiasi sastra
adalah hiburan batiniah dan sukmawi.Sebuah karya sastra dapat diandaikan selalu
memuat hiburan batiniah dan sukmawi, dan seorang pengapresiasi bisa menjiwai,
menghayati, dan menghidangkan hiburan batiniah dan sukmawi itu andaikata
radar-radar nurani, rasa dan budinya demikian peka dan tajam. Dalam pada itu,
apresiasi sastra dapat diperlakukan sebagai penyelenggara perjumpaan antara
sinyal-sinyal hiburan dari karya sastra dan radar-radar nurani, rasa, dan budi
pengapresiasi. Dengan begitu, penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan
sinyal-sinyal hiburan dari karya sastra bisa berlangsung dalam batin dan sukma.
Contoh, sastra dramatic Gerr (putu
wijaya) dapat diperlakukan sebagai mengandung hiburan-hiburan batin dan sukma.
Pengapresiasinya bisa menjiwai,menghayati, dan menikmati hiburan yang
terkandung dalam Gerr. Andai kata sudah
terjadi kontak antara keduanya berarti telah berlangsung apresiasi sastra. Hal
ini berarti apresiasi sastra sudah menjumpakan sinyal-sinyal hiburan dalam Gerr. Dengan radar-radar nurani,
rasa,dan budi pengapresiasi yang memang sudah terarah pada Gerr. Selanjutnya hal ini berarti bahwa apresiasi sastra telah
menunaikan fungsi rekreatif. Ada bermacam-macam hiburan batiniah dan sukmawi
yang disediakan, ditawarkan, disuguhkan, dan dihidangkan oleh apresiasi sastra.
Akan tetapi, kita mungkin mengidentifikasinya secara pasti dan lengkapkarena
sifatnya individual-subjektif dan idiosin-kretis. Yang bisa dilakukan hanyalah
menduga-duga gejala dan pertanda keterhiburan batinian dan sukmawi. Kelegaan,
kepuasan, kesenangan, kegembiraan, dan keterpukauan merupakanbeberapa gejaladan
pertanda bahwa batin dan sukma memperoleh hiburan pada saat apresiasi sastra.
Hal ini bisa terjadi karena humor-humor, kelucuan-kelucuan, keluguan-keluguan,
sindiran-sindiran, kekonyolan-kekonyolan bahkan keindahan-keindahan, dan
keintensifan-keintensifan serta kekhususan-kekhususan yang terkandung dalam
sastra dan tertangkap sewaktu berlangsung apresiasi sastra.
Berdasarkan
fungsi eksperensial, fungsi informatif, fungsi penyadaran, dan fungsi rekreatif
tersebut tidak selalu terpisah. Adakalanya malah berpadu. Maksudnya, dalam
suatu proses apresiasi sastra bisa teremban atau tertunaikan beberapa fungsi
sekaligus. Hal ini bergantung pada proses keberlangsungan apresiasi sastra,
pengapresi-asi sastra, dan karya sastra. Jika proses apresiasi berlangsung
secara afektif-intelektualitas dan pengapresiasi sastra bertipe
afektif-intelektualistis serta karya sastra berbobot atau bermutu, maka
berbagai fungsi bisa tertunaikan sekaligus. Proses apresiasi sastra dapat
teremban atau tertunaikan dalam beberapa fungsi sekaligus tergantung pada
proses keberlangsungan apresiasi sastra, pengapresiasian sastra, dan karya
sastra
0 komentar:
Posting Komentar