Minggu, 15 Desember 2013

Kumpulan Cerpen

1. CERPEN HUMOR

Sebelum Sembahyang
Angin berbisik dengan gundahnya, bergandengan sengatnya terik matahari menyapa sebuah gang. Sebut saja gang cinta, sebuah gang yang sepi tanpa lalu lalang dan celoteh penghuninya. Di dinding gang tak bernyawa itu nampak bersandar empat preman cap lontong. Empat preman itu berambut kusam, berwajah pas-passan, berpakaian compang-camping dengan celana robek-robek, gelang dan kalung rantai melingkar di leher dan pergelangan tangannya. Tato dengan gambar gravity yang tidak jelas juga menyelubungi lengannya yang sedikit kekar. Sandaran itu seperti kelam, penuh dengan kekosongan. Seiring dengan berjalannya waktu ternyata empat preman itu adalah komplotan pencopet. Komplotan pencompet itu layaknya orang yang tak bernama, mereka hanya bertegur sapa dengan nama lapang mereka yaitu copet satu untuk rekan mereka yang tuli dan sedikit bodoh, serta sering tidak nyambung. Copet dua untuk rekan mereka yang tidak jelas karena senang meledek, copet tiga untuk rekan mereka yang tidak penakut dan copet empat untuk rekan mereka yang penakut.
Kumandang adzan penanda panggilan sholat menyelinap dibalik gang cinta yang tak bernyawa, dan hanya ada empat pencopet yang bersandar ditepian dinding. Kumandang adzan benar-benar menggugah kalbu insan, namun miris lantunan suara merdu adzan tidaklah menggugah kalbu empat pencopet itu. Adzan hanyalah menjadi perbincangan belaka diantara mereka tanpa terselipkan sebuah makna dibenak mereka. Adzan bagi mereka hanyalah kekosongan belaka yang tak mengandung makna apapun layaknya sebuah pena tanpa lumuran tinta. Kekosongan itu hanya menyisakan lelucon, canda tawa tentang adzan.
“Copet 1 : Suara apa ya?”
“Copet 2 : Adzan.”
“Copet 1 : Adzan apa edan?, jika edan aku pernah mendengarnya.”
Guyonan dan gurauan mereka tentang adzan nampaknya kian berakhir. Akhir gurauan itu muncul setelah terdengar alunan langkah kaki gadis muslim yang elok dengan jilbab putihnya sembari membawa bungkusan mukenah dan sajadah menuju tempat dimana adzan berkumandang. Gadis muslim itu serasa mangsa bagi empat pecopet itu, gubahan rayuan dan godaan mereka lontarkan untuk mendapatkan sesuatu darinya. Sayangnya hari ini keberuntungan tidak memihak pada raga empat pecopet tersebut, tamparan merupakan barter untuk mereka. Tanpa mengenal putus asa mereka terus saja menghantui gadis muslim pengguna gang cinta itu. Nasib berkata lain, hari ini adalah hari yang bersejarah bagi mereka. Tiba-tiba muncul sosok yang nampak putih, berjubah putih, berkopyah putih, dan dengan wajah keriput di depan empat pencopet untuk menyelamatkan wanita muslim. Sosok itu adalah seorang kyai yang akan menjadi imam sembhayang dzuhur nanti.
“Copet 1          : minggir! Kalau tidak parangku akan merobek tubuhmu.”
“ Pak Kyai       : tidak, kalau memang penasaran majulah.”
Perkelahian dengan penuh lentera maut terjadi diantara empat copet dan Pak Kyai sedangkan wanita muslim itu hanya tersipu dengan ketakutannya dibalik kerasnya perkelahian itu.
“Copet 1,2,3,4 : Kapok, pak kyai kapok bisa benjut kepala saya.”
“ Pak Kyai       : Kenapa takut?”
Perkelahian itu berakhir dengan gubahan sejarah para pencopet itu, ternyata ada seorang pencopet yang lulusan pondok pesantren sebut saja dia dengan copet satu, copet dua gemar mencuri sandal-sandal baru dimasjid, sedangkan pecopet tiga dan empat adalah cucu dari seorang mudhin. Empat pencopet itu benar-benar tak mengerti apa yang dimaksud adzan kecuali copet tiga dan copet empat yang beragama khatolik. Sejarah empat pencopet tersebut nampaknya menjadikan kesan tersendiri bagi Pak Kyai. Pak Kyai bertekad untuk merubah pola pikir mereka agar menuju jalan yang lurus, menyadarkan mereka agar menitihkan hidupnya untuk berbuat baik selain itu pak yai juga menghimbau kepada dua pencopet yang tidak seiman untuk pulang dan pergi ke gereja, memohon ampunan demi pastur. Cerpen ini ditulis dari naskh drama " Sebelum Sembahyang" 

2. CERPEN UNTUK IBU 
Ali-Ali Ser Cahaya Dua Bujangku
Awan hitam kembali menyelimuti bumi, gemuruh angin kian terasa merajut kegundahan dalam kalbu, petir berbicara dengan kejudasannya, guyuran air hujan kembali hadir untuk bumi. Aku menjauh dari ranjangku berjalan maju beberapa langkah dengan kaki yang berbalut derita osteoporosis dan berpegang rajutan yang temaniku dua jam lalu, menuju kursi goyang peninggalan teman tidurku dulu kangmas Baskoro yang telah meninggalkan wajah dunia ini. Pesona kursi goyang itu nampak indah, dan setia menanti di bilik rumah tuaku. Rumah tuaku yang sudah kurenovasi dan selalu berbesar hati untuk menemaniku disaat aku gundah meratapi hidup tuaku yang sudah berbau tanah. Disaat haluan kakiku yang melangkah dengan lemahnya tiba-tiba terselinap pikiran untuk membentuk ketulusan tresno dengan tembang-tembang.
…..Kalingono gunung wong tresno, direwangi mati ora dupeh bondho dunyo, biso gawe mareming ati.Yen kelingan duh ing wuni,prasasat, wurung yen ngoncati tuhu prasetyaning ati, ngawulo, kang dadi telenging ati..
Merajut dan menembang adalah sepasang sejoli yang membuat nuraniku tersenyum megah, walaupun dimasa tuaku ini aku tak lagi diajeni oleh dua sosok lelaki yang telah kulahirkan dua puluh sembilan tahun silam. Sebut saja mereka Hartono sebagai sosok yang terlahir diwaktu fajar,dia adalah anak pertamaku dan Supriadi sebagai sosok yang terlahir diwaktu senja, dia adalah anak keduaku. Pikiranku lebih bersinar jika aku memanggil anak pertamaku dengan “Kangmas Hartono” dan Dimas Supriadi untuk anak keduaku. Hal ini kulakukan agar keluarga yang kusam tanpa hadirnya kepala keluarga ini dapat bersinar lagi seperti mentari dengan roda-roda keharmonisan, kesejahteraan, dan kemakmuran serta terajut asri dalam sebuah kerukunan. Dua anakku ini belum memiliki sandaran hidup mengingat usia mereka bisa dianggap sudah tidak muda lagi. Kangmas Hartono berusia dua puluh Sembilan tahun dan Dimas Supriadi berusia dua puluh enam tahun, hal ini karena aku menikah di usia yang tidak muda lagi yaitu tiga puluh tahun, oleh karena itu aku sering memanggil mereka dengan “Dua Bujangku”. Hanya kesibukan untuk mencari sandang, pangan, lan papan yang menjadi sandaran hidupnya saat ini, menjadi anggota DPR adalah sandaran hidup Dimas Supriadi saat ini dan dosen adalah sandaran hidup Kangmas Hartono saat ini. Jiwaku tersenyum bangga melihat mereka bersinar dengan pekerjaan mereka masing-masing, mengingat perjuanganku selama ini untuk menjadikan mereka berpendidikan tidaklah mudah apalagi menjelang kelulusan Dimas Supriadi aku harus berjuang sendiri karena suamiku Kangmas Baskoro meninggalkanku untuk selama-lamanya. Enggan rasanya aku berpaling dan memisahkan diri dengan helaian benang yang kurajut dan kursi goyang peninggalan suamiku dulu sebagai tanda dan ikatan untuk saling tresno, tresno dhunia lan akhirat. Tiba-tiba dalam benakku terselinap sebuah keluh kesah “ Kapan nggeh kulo niki dipun ajeni kalian kaleh yugo kulo, pengen yugo-yugo kulo gati, tresno dhateng kulo”. Pada genggaman raga dan jiwa ini sebenarnya memiliki dua bujang, tapi mereka tidak pernah menganggap aku ini ada, mereka lebih sibuk dengan sosok yang mampu memberikannya sandang, pangan, dan papan. Padahal aku menyekolahkan mereka dulu supaya mereka jowo padaku, tetapi impiannku itu hanyalah sebuah kekosongan ibarat telur busuk bebek-bebekku.
Kembali kutoleh halaman rumah dari bilik jendela, nampak guyuran air mata bumi sudah mulai menggummam reda. Namun hati ini terasa hampa dan risau karena dua bujangku belum pula menunjukkan batang hidungnya di rumah, dengan tiba-tiba kudengar suara sepeda roda dua bermesin miliki Kangmas Hartono. Dia masuk ke dalam rumah tanpa rasa bakti.
“Dasar biyung macam apa, jam segini kok belum ada makanan.” 
“ Biyung akan memasak si keriting untukkmu.”
“Ahh, telat dasar biyung pemalas.”
          Aku sebagai biyung harus lebih bertahan dengan dada yang tersesak oleh sikap dan tindak tanduk dua bujangku. Perasaan haru dan enggan tersenyum selalu menyelimutiku ketika Kangmas Hartono membentakku dengan kerikil-kerikil ucapan yang judes dan hampir tiada perasaan bakti padaku. Mengeluh sendiri dalam kalbu adalah obat yang dapat kulakukan untuk menggoreskan gubahan pilu yang kurasakan selain menembang dan merajut helaian benang. Kalbu hanya mampu berbisik ”Gusti Allah andai suamiku masih berdiri di dunia ini, pasti Kangmas Hartono tak seliar ini. Sadarkan putro-putro hamba”. Jari jemariku sudah menghelakan nafasnya dengan menorehkan sebuah rajutan berbentuk taplak meja, namun Dimas Supriadi belum juga datang. Rasaku hanya berteman kekhawatiran terhadapnya walaupun pada dasarnya kalbuku masih mengemban rasa sakit karena tindak tanduk Kangmas Hartono. Waktu nampaknya sudah mengantarkan kedatangan Dimas Supriadi.
“Aku capek biyung, jangan banyak bicara”.
“ Aku akan menyiapkan air hangat untukmu.”
“ Telat.”
Kembali kudapatkan sanggahan dari dua bujangku yang berbalut dengan kesadisan. Sebagai pelipur lara kembali ku ambil helaian benang dan kukepakkan jari-jariku untuk merajutnya, kali ini aku akan membuat rajutan yang berbentuk seperti kantong atau dompet dan akan kugunakan untuk menyimpan koin-koin rupiahku sisa belanja sayuran sehari-hari. Kuminum kopi sembari makan telo goreng yang telah kugoreng tadi pagi, tiba-tiba muncul keanehan pada diriku dan jantungku berteriak begitu kencang ternyata gigiku yang uklak-aklik kemarin terlepas dan secara aku menjadi ompong. Aku tidak suka dengan keomponganku, walaupun aku tua aku harus tetap seperti mentari pagi. Kupanggil dua bujangku yang sedang berdiam diri di ranjang mereka masing-masing.
“ Gigiku lepas.”
“Apa to biyung, berisik saja kamu ini.” 
  Mendengar ucapan mereka aku sangat nelongso, aku ingin menemani suamiku di surga dan meninggalkan dua bujangku yang tak menorehkan perhatiannya sedikitpun untukku. Dengan membawa gigiku yang terlepas aku merengkuhkan kakiku yang berbalut osteoporis menuju bilik ranjangku, tiba diranjang aku kembali merenung dan memikirkan nasibku yang disertai dengan alunan tetesan airmataku hingga akhirnya aku tertidur di ranjang. Embun pagi kembali berbisik menyapu debu diujung daun, aku kembali terbangun dari ranah tidurku yang kelam. Hari ini adalah hari pertamaku tanpa gigi depanku dan hari pertama pula aku memakai gigi perak, yang nampak berkelip-kelip ketika aku berbicara, dimana gigi perak itu kudapatkan dari tetangga depan rumah yang kebetulan adalah ahli gigi. Sejak itu banyak orang yang memanggilku “Ibu gigi perak”. Dua bujangku tidak mengulurkakn pikirannya dan memberiku penilaian sama sekali tentang gigi palsuku bahkan sampai aku mendapat julukan nenek gigi perak mereka juga tidak tahu. Entah mereka sengaja atau hanya sandiwara belaka.
            Syamsiah kepoakanku dari kota datang menjengukku hari ini, dia masih melajang di usia dua puluh lima tahun, hanya dia yang mau tersenyum padaku dan membuka gendang telinganya untuk mendengar keluh kesahku. Dahinya yang nonong, matanya yang bawang sebungkul, lehernya yang ulan-ulan serta bibirnya yang nyigar jambe membutnya semakin elok. Aku yang kurus membuatnya kaget,apalagi setelah mengerti sikap dua bujangku.
“ Jahat,, ayo biyung ikut denganku.”
“Baik, dua bujanggu putih hatinya.”
“Tidak, dia kasar dan tidak jowo”.
  Hidupku serasa terjamin, setelah Syamsiah tinggal bersama gubahan sosokku. Ada yang memasak untuk makanku, susu anleneku, memasak air hangat untuk aku siram, serta menemaniku merajut dan menembang. Dua bujangku memang tidak pernah suka dengan hadirnya Syamsiah, mereka memutuskan untuk tinggal dirumah dinas msing-masing dan aku enggan untuk melarangnya karena sudah terlanjur sakit hati dengan tindak tuturnya. Tanpa terasa sudah sesasi Syamsiah tingal bersamaku dan sesai pula dua bujangku tidak tinggal bersamaku. Saat Syamsiah sedang mencucu sandanganku dan aku menyapu plesteran rumah sembari menembang, tiba-tiba datang dua bujangku memaki-makiku. Tak hanya aku yang dimaki-maki tapi juga Syamsiah, Kangmas Hartono membanting vas bunga yang singgah dimeja dan Dimas Supriadi menghancurkan rajutanku yang kubuat beberapa saat lalu.
“Bodoh, anak sendiri ditelantarkan.”
“ Kau yang bodoh”.
“Kau tak jowo padaku, berbunga kalbuku bersamanya.”
Dua bujangku menginginkan Syamsiah untuk tidak tinggal bersamaku, mereka ingin rumah peninggalan romonya hanya berteman dengan tiga penghuni saja yaitu aku, dan mereka. Jiwaku terasa menangis aku bigung memilih dua bujangku atau Syamsiah, dengan Syamsiah hidupku bisa tersenyum tentram namun dengan dua bujangku hidupku tersenyum suram. Syamsiah mengajakku untuk tinggal bersamanya di kota dan aku semakin bingung. Urat-urat otakku memutuskan untuk ikut Syamsiah dan, meninggalkan dua bujangku adalah jalan terbaik agar mereka tersadar jika selama ini hidupku suram bersamanya. Berangkatlah aku dan Syamsiah ke kota dengan membawa semua sandanganku dan ali-ali ser peninggalan Kangmas Baskoro sebagai tanda tresno tanpa menyisakan percakapan untuk dua bujangku, hanya pamit pada tetanggaku. Kedatanganku disambut baik oleh orangtua Syamsiah, Romo Syamsiah adalah dimas kandungku. Panas dikota benar-benar mencekik raga, namun hal ini tak membuatku kelam. Sudah empat belas hari aku tinggal di kota dan dua bujangku datang menjemputku dengan wajah sadis karena mereka tahu dari tetangga jika aku ikut Syamsiah ke kota. Mereka memaksaku untuk pulang dengan kasar, menggebrok-gebrok pintu menyeret tubuhku dengan perkoso hingga aku sulit untuk berjalan karena kekeroposan tulangku semakin parah.
Syetan, keluar kamu Syamsiah.”
“Goblok kamu biyung jika tingal disini.”
“Kau yang goblok, menelantarkan biyungmu.”
“Bangsat kalian berdua.”
Pergilah dua bujangku dengan wajah kemarahan untuk kembali ke desa, aku berbuat demikian hanya ingin mereka sadar jika aku ingin mereka gati, jowo padaku tidak membentak-bentakku.Sudah tujuh hari setelah keputusanku untuk tetap ikut dengan Syamsiah, aku merasa dia sudah tak seperti dulu lagi tindak tuturnya padaku berubah-ubah terkadang kerikil-kerikil ketajaman mulutnya membentakku dengan seenaknya dan terkadang menyelinap kerikil-kerikil kesabaran. Sudah empat hari terakhir ini yotroku hilang secara terus-menerus apalagi setelah aku mengambil pensiunan Kangmas Baskoro,walaupun jiwa ini sudah berbau tanah tapi masih memiliki pensiunan untuk sanguku sehari-hari. Selain yotroku yang hilang ali-ali serku sebagai tanda tresno Kangmas Baskoro juga hilang bersama dengan uangku. Masalah uang bagiku bukan apa-apa yang penting adalah ali-ali serku karena tersimpan banyak kenangan, banyak perjuangan, harus bergelumat asa untuk mendapatkannya selain itu dengan ali-ali serku aku merasa suamiku yang telah di swargo masih menemani keseharianku. Kegundahan menerpa batinku antara bertanya dan tidak bertanya kepada Syamsiah. Jika bertanya aku takut membuat Syamsiah ngamuk salah tangkep tetapi jika aku tidak bertanya kemana lagi aku mencari ali-ali serku. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya pada Syamsiah dibalik sudut rumah yang sepi, disaat Syamsiah memasak opor ayam, dengan berpegang tajamnya pisau ditangannya.
“Hilang ali-ali serku apa kau tau?”
“ Memangnya saya pencuri, mau kuterbangkan pisauku ini pada lehermu?”
Aku hanya bisa berpasrah disaat Syamsiah akan menggamparkan pisaunya padaku, dan sudah menerpa dinding leherku, mungkin gamparan pisau itu yang mengantarkanku menuju kehidupan terakhirku. Gamparan itu tiba-tiba menjauh begitu saja dari leherku, karena Syamsiah tersadar sejenak jika yang akan dia lakukan itu adalah pembunuhan belaka. Sejak hilangnya ali-ali serku, semangat hidupku semakin layu selalu teringat Kangmas Baskoro serasa ingin ikut dengannya di swargo, teringat dua bujangku yang tak kunjung menjengukku lagi, dan tindak tanduk Syamsiah yang semakin bergelora dengan panasnya, dulu dia manis semanis gula tapi sekarang dia jahat, sadis, dan bengis  seperti dedemit. Saraf-saraf diragaku serasa tak bergejolak, aku seperti orang bodoh tidak mau lagi tidur di ranjang hanya mau tidur di plesteran, aku lebih suka memakai celana kolor daripada memakai sewek, aku suka membawa kantong ali-ali serku ngalor ngidul, membuang helain benang yang kubuat merajut, dan hasil rajutannku sembari menembang tentang ali-ali ser tanpa lirik yang jelas. Syamsiah suka mencelaku dengan tingkahku yang semakin hari semakin goblok, dia menyuruh dua bujangku untuk menjemputku karena mengira aku edhan. Syamsiah menghubungi dua bujangku dengan telepon genggamnya yang seperti batu bata. Dua bujangku datang untuk menjemputku dan meneteskan iluhnya melihat aku yang miris seperti orang edhan.
“ Miris, jika biyungku gila.”
“ Kalian baru sadar sekarang, ironis.”
 Syamsiah menyarankan untuk membawaku ke rumah sakit jiwa, dan nuraninya sama sekali tidak tergugah untuk bertanggungjawab atas perbuatannya dan  tak pernah menampakkan perasaan bersalah. Dua bujangku membawa aku ke rumah sakit jiwa dengan penuh perasaan risau. Dalam batin hanya mampu berbicara aku tidak edhan aku hanya kangen ali-ali serku. Pak mantri di rumah sakit jiwa mengatakan bahwa aku ini tidak edhan aku masih waras, katanya aku hanya butuh perhatian dan kasih sayang serta ada sesuatu yang aku rindukan. Sejak itu dua bujangku terbuka hasratnya untuk mengetahui jalan yang menyebabkan aku seperti ini dan lontaran penjelasan tetangga Syamsiah membuat mereka tau jika Syamsiah hanya menitih kejahatan untukku. Dua bujangku  tersadar jika dia selama ini tidak peduli pada ratapan sosok berbau tanah ini, mereka hanya peduli pada benda yang memberinya nafkah atau sangu untuk hidup di dunia. Sekarang hampir setiap helaian nafasku berkesima dengan rangkaian kasih,, butiran welas asih lan sejati dari bujangku. Akupun kembali menikmati hidupku yang telah berbau tanah dengan kenyamanan bersama dua bujangku, mencoba mengiklaskan ali-ali serku, dan menunggu hingga ajal menjemputku. Semoga saja ajal belum menerpaku sebelum aku melihat dua bujangku tersipu dengan kebahagiaan bersama putuku lan bojo mereka dewe-dewe.
 



0 komentar:

Posting Komentar