1. CERPEN HUMOR
Sebelum
Sembahyang
Angin
berbisik dengan gundahnya, bergandengan sengatnya terik matahari menyapa sebuah
gang. Sebut saja gang cinta, sebuah gang yang sepi tanpa lalu lalang dan
celoteh penghuninya. Di dinding gang tak bernyawa itu nampak bersandar empat preman
cap lontong. Empat preman itu berambut kusam, berwajah pas-passan, berpakaian
compang-camping dengan celana robek-robek, gelang dan kalung rantai melingkar
di leher dan pergelangan tangannya. Tato dengan gambar gravity yang tidak jelas
juga menyelubungi lengannya yang sedikit kekar. Sandaran itu seperti kelam,
penuh dengan kekosongan. Seiring dengan berjalannya waktu ternyata empat preman
itu adalah komplotan pencopet. Komplotan pencompet itu layaknya orang yang tak
bernama, mereka hanya bertegur sapa dengan nama lapang mereka yaitu copet satu
untuk rekan mereka yang tuli dan sedikit bodoh, serta sering tidak nyambung.
Copet dua untuk rekan mereka yang tidak jelas karena senang meledek, copet tiga
untuk rekan mereka yang tidak penakut dan copet empat untuk rekan mereka yang
penakut.
Kumandang
adzan penanda panggilan sholat menyelinap dibalik gang cinta yang tak bernyawa,
dan hanya ada empat pencopet yang bersandar ditepian dinding. Kumandang adzan
benar-benar menggugah kalbu insan, namun miris lantunan suara merdu adzan
tidaklah menggugah kalbu empat pencopet itu. Adzan hanyalah menjadi
perbincangan belaka diantara mereka tanpa terselipkan sebuah makna dibenak
mereka. Adzan bagi mereka hanyalah kekosongan belaka yang tak mengandung makna
apapun layaknya sebuah pena tanpa lumuran tinta. Kekosongan itu hanya
menyisakan lelucon, canda tawa tentang adzan.
“Copet
1 : Suara apa ya?”
“Copet
2 : Adzan.”
“Copet
1 : Adzan apa edan?, jika edan aku pernah mendengarnya.”
Guyonan
dan gurauan mereka tentang adzan nampaknya kian berakhir. Akhir gurauan itu
muncul setelah terdengar alunan langkah kaki gadis muslim yang elok dengan
jilbab putihnya sembari membawa bungkusan mukenah dan sajadah menuju tempat
dimana adzan berkumandang. Gadis muslim itu serasa mangsa bagi empat pecopet
itu, gubahan rayuan dan godaan mereka lontarkan untuk mendapatkan sesuatu
darinya. Sayangnya hari ini keberuntungan tidak memihak pada raga empat pecopet
tersebut, tamparan merupakan barter untuk mereka. Tanpa mengenal putus asa
mereka terus saja menghantui gadis muslim pengguna gang cinta itu. Nasib
berkata lain, hari ini adalah hari yang bersejarah bagi mereka. Tiba-tiba
muncul sosok yang nampak putih, berjubah putih, berkopyah putih, dan dengan
wajah keriput di depan empat pencopet untuk menyelamatkan wanita muslim. Sosok
itu adalah seorang kyai yang akan menjadi imam sembhayang dzuhur nanti.
“Copet
1 : minggir! Kalau tidak
parangku akan merobek tubuhmu.”
“
Pak Kyai : tidak, kalau memang
penasaran majulah.”
Perkelahian
dengan penuh lentera maut terjadi diantara empat copet dan Pak Kyai sedangkan
wanita muslim itu hanya tersipu dengan ketakutannya dibalik kerasnya
perkelahian itu.
“Copet
1,2,3,4 : Kapok, pak kyai kapok bisa
benjut kepala saya.”
“
Pak Kyai : Kenapa takut?”
Perkelahian
itu berakhir dengan gubahan sejarah para pencopet itu, ternyata ada seorang
pencopet yang lulusan pondok pesantren sebut saja dia dengan copet satu, copet
dua gemar mencuri sandal-sandal baru dimasjid, sedangkan pecopet tiga dan empat
adalah cucu dari seorang mudhin. Empat pencopet itu benar-benar tak mengerti
apa yang dimaksud adzan kecuali copet tiga dan copet empat yang beragama
khatolik. Sejarah empat pencopet tersebut nampaknya menjadikan kesan tersendiri
bagi Pak Kyai. Pak Kyai bertekad untuk merubah pola pikir mereka agar menuju
jalan yang lurus, menyadarkan mereka agar menitihkan hidupnya untuk berbuat
baik selain itu pak yai juga menghimbau kepada dua pencopet yang tidak seiman
untuk pulang dan pergi ke gereja, memohon ampunan demi pastur. Cerpen ini ditulis dari naskh drama " Sebelum Sembahyang"
2. CERPEN UNTUK IBU
Ali-Ali Ser Cahaya Dua Bujangku
Awan
hitam kembali menyelimuti bumi, gemuruh angin kian terasa merajut kegundahan
dalam kalbu, petir berbicara dengan kejudasannya, guyuran air hujan kembali
hadir untuk bumi. Aku menjauh dari ranjangku berjalan maju beberapa langkah
dengan kaki yang berbalut derita osteoporosis dan berpegang rajutan yang
temaniku dua jam lalu, menuju kursi goyang peninggalan teman tidurku dulu
kangmas Baskoro yang telah meninggalkan wajah dunia ini. Pesona kursi goyang
itu nampak indah, dan setia menanti di bilik rumah tuaku. Rumah tuaku yang
sudah kurenovasi dan selalu berbesar hati untuk menemaniku disaat aku gundah
meratapi hidup tuaku yang sudah berbau tanah. Disaat haluan kakiku yang
melangkah dengan lemahnya tiba-tiba terselinap pikiran untuk membentuk
ketulusan tresno dengan tembang-tembang.
…..Kalingono gunung wong
tresno, direwangi mati ora dupeh bondho dunyo, biso gawe mareming ati.Yen
kelingan duh ing wuni,prasasat, wurung yen ngoncati tuhu prasetyaning ati,
ngawulo, kang dadi telenging ati..
Merajut dan
menembang adalah sepasang sejoli yang membuat nuraniku tersenyum megah, walaupun
dimasa tuaku ini aku tak lagi diajeni oleh dua sosok lelaki yang telah
kulahirkan dua puluh sembilan tahun silam. Sebut saja mereka Hartono sebagai
sosok yang terlahir diwaktu fajar,dia adalah anak pertamaku dan Supriadi
sebagai sosok yang terlahir diwaktu senja, dia adalah anak keduaku. Pikiranku
lebih bersinar jika aku memanggil anak pertamaku dengan “Kangmas Hartono” dan
Dimas Supriadi untuk anak keduaku. Hal ini kulakukan agar keluarga yang kusam
tanpa hadirnya kepala keluarga ini dapat bersinar lagi seperti mentari dengan
roda-roda keharmonisan, kesejahteraan, dan kemakmuran serta terajut asri dalam
sebuah kerukunan. Dua anakku ini belum memiliki sandaran hidup mengingat usia
mereka bisa dianggap sudah tidak muda lagi. Kangmas Hartono berusia dua puluh
Sembilan tahun dan Dimas Supriadi berusia dua puluh enam tahun, hal ini karena
aku menikah di usia yang tidak muda lagi yaitu tiga puluh tahun, oleh karena
itu aku sering memanggil mereka dengan “Dua Bujangku”. Hanya kesibukan untuk
mencari sandang, pangan, lan papan yang menjadi sandaran hidupnya saat
ini, menjadi anggota DPR adalah sandaran hidup Dimas Supriadi saat ini dan
dosen adalah sandaran hidup Kangmas Hartono saat ini. Jiwaku tersenyum bangga
melihat mereka bersinar dengan pekerjaan mereka masing-masing, mengingat
perjuanganku selama ini untuk menjadikan mereka berpendidikan tidaklah mudah
apalagi menjelang kelulusan Dimas Supriadi aku harus berjuang sendiri karena
suamiku Kangmas Baskoro meninggalkanku untuk selama-lamanya. Enggan rasanya aku
berpaling dan memisahkan diri dengan helaian benang yang kurajut dan kursi
goyang peninggalan suamiku dulu sebagai tanda dan ikatan untuk saling tresno,
tresno dhunia lan akhirat. Tiba-tiba dalam benakku terselinap sebuah keluh
kesah “ Kapan nggeh kulo niki dipun ajeni kalian kaleh yugo kulo, pengen
yugo-yugo kulo gati, tresno dhateng kulo”. Pada genggaman raga dan jiwa ini
sebenarnya memiliki dua bujang, tapi mereka tidak pernah menganggap aku ini
ada, mereka lebih sibuk dengan sosok yang mampu memberikannya sandang, pangan,
dan papan. Padahal aku menyekolahkan mereka dulu supaya mereka jowo padaku,
tetapi impiannku itu hanyalah sebuah kekosongan ibarat telur busuk
bebek-bebekku.
Kembali kutoleh halaman rumah dari bilik jendela,
nampak guyuran air mata bumi sudah mulai menggummam reda. Namun hati ini terasa
hampa dan risau karena dua bujangku belum pula menunjukkan batang hidungnya di
rumah, dengan tiba-tiba kudengar suara sepeda roda dua bermesin miliki Kangmas
Hartono. Dia masuk ke dalam rumah tanpa rasa bakti.
“Dasar biyung macam apa, jam segini kok belum ada
makanan.”
“ Biyung akan memasak si keriting untukkmu.”
“Ahh, telat dasar biyung pemalas.”
Aku
sebagai biyung harus lebih bertahan dengan dada yang tersesak oleh sikap dan
tindak tanduk dua bujangku. Perasaan haru dan enggan tersenyum selalu
menyelimutiku ketika Kangmas Hartono membentakku dengan kerikil-kerikil ucapan
yang judes dan hampir tiada perasaan bakti padaku. Mengeluh sendiri
dalam kalbu adalah obat yang dapat kulakukan untuk menggoreskan gubahan pilu
yang kurasakan selain menembang dan merajut helaian benang. Kalbu hanya mampu
berbisik ”Gusti Allah andai suamiku masih berdiri di dunia ini, pasti
Kangmas Hartono tak seliar ini. Sadarkan putro-putro hamba”. Jari jemariku
sudah menghelakan nafasnya dengan menorehkan sebuah rajutan berbentuk taplak
meja, namun Dimas Supriadi belum juga datang. Rasaku hanya berteman
kekhawatiran terhadapnya walaupun pada dasarnya kalbuku masih mengemban rasa
sakit karena tindak tanduk Kangmas Hartono. Waktu nampaknya sudah mengantarkan
kedatangan Dimas Supriadi.
“Aku capek biyung, jangan banyak bicara”.
“ Aku akan menyiapkan air hangat untukmu.”
“ Telat.”
Kembali kudapatkan sanggahan dari dua bujangku yang
berbalut dengan kesadisan. Sebagai pelipur lara kembali ku ambil helaian benang
dan kukepakkan jari-jariku untuk merajutnya, kali ini aku akan membuat rajutan
yang berbentuk seperti kantong atau dompet dan akan kugunakan untuk menyimpan
koin-koin rupiahku sisa belanja sayuran sehari-hari. Kuminum kopi sembari makan
telo goreng yang telah kugoreng tadi pagi, tiba-tiba muncul keanehan
pada diriku dan jantungku berteriak begitu kencang ternyata gigiku yang uklak-aklik
kemarin terlepas dan secara aku menjadi ompong. Aku tidak suka dengan
keomponganku, walaupun aku tua aku harus tetap seperti mentari pagi. Kupanggil
dua bujangku yang sedang berdiam diri di ranjang mereka masing-masing.
“ Gigiku lepas.”
“Apa to biyung, berisik saja kamu ini.”
Mendengar ucapan mereka aku sangat nelongso,
aku ingin menemani suamiku di surga dan meninggalkan dua bujangku yang tak
menorehkan perhatiannya sedikitpun untukku. Dengan membawa gigiku yang terlepas
aku merengkuhkan kakiku yang berbalut osteoporis menuju bilik ranjangku, tiba
diranjang aku kembali merenung dan memikirkan nasibku yang disertai dengan
alunan tetesan airmataku hingga akhirnya aku tertidur di ranjang. Embun pagi
kembali berbisik menyapu debu diujung daun, aku kembali terbangun dari ranah
tidurku yang kelam. Hari ini adalah hari pertamaku tanpa gigi depanku dan hari
pertama pula aku memakai gigi perak, yang nampak berkelip-kelip ketika aku
berbicara, dimana gigi perak itu kudapatkan dari tetangga depan rumah yang
kebetulan adalah ahli gigi. Sejak itu banyak orang yang memanggilku “Ibu gigi
perak”. Dua bujangku tidak mengulurkakn pikirannya dan memberiku penilaian sama
sekali tentang gigi palsuku bahkan sampai aku mendapat julukan nenek gigi perak
mereka juga tidak tahu. Entah mereka sengaja atau hanya sandiwara belaka.
Syamsiah kepoakanku dari kota datang
menjengukku hari ini, dia masih melajang di usia dua puluh lima tahun, hanya
dia yang mau tersenyum padaku dan membuka gendang telinganya untuk mendengar
keluh kesahku. Dahinya yang nonong, matanya yang bawang sebungkul,
lehernya yang ulan-ulan serta bibirnya yang nyigar jambe
membutnya semakin elok. Aku yang kurus membuatnya kaget,apalagi setelah
mengerti sikap dua bujangku.
“
Jahat,, ayo biyung ikut denganku.”
“Baik,
dua bujanggu putih hatinya.”
“Tidak,
dia kasar dan tidak jowo”.
Hidupku serasa terjamin, setelah
Syamsiah tinggal bersama gubahan sosokku. Ada yang memasak untuk makanku, susu
anleneku, memasak air hangat untuk aku siram, serta menemaniku merajut
dan menembang. Dua bujangku memang tidak pernah suka dengan hadirnya Syamsiah,
mereka memutuskan untuk tinggal dirumah dinas msing-masing dan aku enggan untuk
melarangnya karena sudah terlanjur sakit hati dengan tindak tuturnya. Tanpa
terasa sudah sesasi Syamsiah tingal bersamaku dan sesai pula dua
bujangku tidak tinggal bersamaku. Saat Syamsiah sedang mencucu sandanganku
dan aku menyapu plesteran rumah sembari menembang, tiba-tiba datang dua
bujangku memaki-makiku. Tak hanya aku yang dimaki-maki tapi juga Syamsiah,
Kangmas Hartono membanting vas bunga yang singgah dimeja dan Dimas Supriadi
menghancurkan rajutanku yang kubuat beberapa saat lalu.
“Bodoh,
anak sendiri ditelantarkan.”
“
Kau yang bodoh”.
“Kau
tak jowo padaku, berbunga kalbuku bersamanya.”
Dua
bujangku menginginkan Syamsiah untuk tidak tinggal bersamaku, mereka ingin
rumah peninggalan romonya hanya berteman dengan tiga penghuni saja yaitu aku,
dan mereka. Jiwaku terasa menangis aku bigung memilih dua bujangku atau
Syamsiah, dengan Syamsiah hidupku bisa tersenyum tentram namun dengan dua
bujangku hidupku tersenyum suram. Syamsiah mengajakku untuk tinggal bersamanya
di kota dan aku semakin bingung. Urat-urat otakku memutuskan untuk ikut
Syamsiah dan, meninggalkan dua bujangku adalah jalan terbaik agar mereka
tersadar jika selama ini hidupku suram bersamanya. Berangkatlah aku dan
Syamsiah ke kota dengan membawa semua sandanganku dan ali-ali ser
peninggalan Kangmas Baskoro sebagai tanda tresno tanpa menyisakan
percakapan untuk dua bujangku, hanya pamit pada tetanggaku. Kedatanganku
disambut baik oleh orangtua Syamsiah, Romo Syamsiah adalah dimas kandungku.
Panas dikota benar-benar mencekik raga, namun hal ini tak membuatku kelam.
Sudah empat belas hari aku tinggal di kota dan dua bujangku datang menjemputku
dengan wajah sadis karena mereka tahu dari tetangga jika aku ikut Syamsiah ke
kota. Mereka memaksaku untuk pulang dengan kasar, menggebrok-gebrok pintu
menyeret tubuhku dengan perkoso hingga aku sulit untuk berjalan karena
kekeroposan tulangku semakin parah.
“ Syetan,
keluar kamu Syamsiah.”
“Goblok
kamu biyung jika tingal disini.”
“Kau
yang goblok, menelantarkan biyungmu.”
“Bangsat
kalian berdua.”
Pergilah
dua bujangku dengan wajah kemarahan untuk kembali ke desa, aku berbuat demikian
hanya ingin mereka sadar jika aku ingin mereka gati, jowo padaku tidak
membentak-bentakku.Sudah tujuh hari setelah keputusanku untuk tetap ikut dengan
Syamsiah, aku merasa dia sudah tak seperti dulu lagi tindak tuturnya padaku berubah-ubah
terkadang kerikil-kerikil ketajaman mulutnya membentakku dengan seenaknya dan
terkadang menyelinap kerikil-kerikil kesabaran. Sudah empat hari terakhir ini yotroku
hilang secara terus-menerus apalagi setelah aku mengambil pensiunan Kangmas
Baskoro,walaupun jiwa ini sudah berbau tanah tapi masih memiliki pensiunan
untuk sanguku sehari-hari. Selain yotroku yang hilang ali-ali serku
sebagai tanda tresno Kangmas Baskoro juga hilang bersama dengan uangku. Masalah
uang bagiku bukan apa-apa yang penting adalah ali-ali serku karena
tersimpan banyak kenangan, banyak perjuangan, harus bergelumat asa untuk
mendapatkannya selain itu dengan ali-ali serku aku merasa suamiku yang
telah di swargo masih menemani keseharianku. Kegundahan menerpa batinku
antara bertanya dan tidak bertanya kepada Syamsiah. Jika bertanya aku takut
membuat Syamsiah ngamuk salah tangkep tetapi jika aku tidak bertanya
kemana lagi aku mencari ali-ali serku. Akhirnya aku memberanikan diri
untuk bertanya pada Syamsiah dibalik sudut rumah yang sepi, disaat Syamsiah
memasak opor ayam, dengan berpegang tajamnya pisau ditangannya.
“Hilang
ali-ali serku apa kau tau?”
“
Memangnya saya pencuri, mau kuterbangkan pisauku ini pada lehermu?”
Aku
hanya bisa berpasrah disaat Syamsiah akan menggamparkan pisaunya padaku, dan
sudah menerpa dinding leherku, mungkin gamparan pisau itu yang mengantarkanku
menuju kehidupan terakhirku. Gamparan itu tiba-tiba menjauh begitu saja dari
leherku, karena Syamsiah tersadar sejenak jika yang akan dia lakukan itu adalah
pembunuhan belaka. Sejak hilangnya ali-ali serku, semangat hidupku
semakin layu selalu teringat Kangmas Baskoro serasa ingin ikut dengannya di swargo,
teringat dua bujangku yang tak kunjung menjengukku lagi, dan tindak tanduk
Syamsiah yang semakin bergelora dengan panasnya, dulu dia manis semanis gula
tapi sekarang dia jahat, sadis, dan bengis
seperti dedemit. Saraf-saraf diragaku serasa tak bergejolak, aku
seperti orang bodoh tidak mau lagi tidur di ranjang hanya mau tidur di plesteran,
aku lebih suka memakai celana kolor daripada memakai sewek, aku suka
membawa kantong ali-ali serku ngalor ngidul, membuang helain
benang yang kubuat merajut, dan hasil rajutannku sembari menembang tentang ali-ali
ser tanpa lirik yang jelas. Syamsiah suka mencelaku dengan tingkahku yang
semakin hari semakin goblok, dia menyuruh dua bujangku untuk menjemputku
karena mengira aku edhan. Syamsiah menghubungi dua bujangku dengan
telepon genggamnya yang seperti batu bata. Dua bujangku datang untuk
menjemputku dan meneteskan iluhnya melihat aku yang miris seperti orang edhan.
“
Miris, jika biyungku gila.”
“
Kalian baru sadar sekarang, ironis.”
Syamsiah menyarankan untuk membawaku ke rumah
sakit jiwa, dan nuraninya sama sekali tidak tergugah untuk bertanggungjawab
atas perbuatannya dan tak pernah
menampakkan perasaan bersalah. Dua bujangku membawa aku ke rumah sakit jiwa
dengan penuh perasaan risau. Dalam batin hanya mampu berbicara aku tidak edhan
aku hanya kangen ali-ali serku. Pak mantri di rumah sakit jiwa mengatakan bahwa
aku ini tidak edhan aku masih waras, katanya aku hanya butuh
perhatian dan kasih sayang serta ada sesuatu yang aku rindukan. Sejak itu dua
bujangku terbuka hasratnya untuk mengetahui jalan yang menyebabkan aku seperti
ini dan lontaran penjelasan tetangga Syamsiah membuat mereka tau jika Syamsiah
hanya menitih kejahatan untukku. Dua bujangku tersadar jika dia selama ini tidak peduli pada
ratapan sosok berbau tanah ini, mereka hanya peduli pada benda yang memberinya
nafkah atau sangu untuk hidup di dunia. Sekarang hampir setiap helaian nafasku
berkesima dengan rangkaian kasih,, butiran welas asih lan sejati
dari bujangku. Akupun kembali menikmati hidupku yang telah berbau tanah dengan
kenyamanan bersama dua bujangku, mencoba mengiklaskan ali-ali serku, dan
menunggu hingga ajal menjemputku. Semoga saja ajal belum menerpaku sebelum aku
melihat dua bujangku tersipu dengan kebahagiaan bersama putuku lan
bojo mereka dewe-dewe.
0 komentar:
Posting Komentar